TIGA TIADA DUNIA

Ada 3 "tiada" di dunia ini :
- tiada orang yang saya cintai
- tiada orang yang tidak saya percayai
- tiada orang yang tidak bisa saya maafkan

Rabu, 20 Juni 2012

KEWAJIBAN PATUH PADA HUKUM


KEWAJIBAN PATUH PADA HUKUM
(Raymon Waaks)
di Indonesia

Kewajiban merupakan suatu hal yang harus dilakukan atau dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka akan terdapat sanksi atau akibat yang buruk/negatif bagi pelanggarnya. Dalam kaitannya kewajiban patuh terhadap hukum, Raymon Waaks memberikan 3 (tiga) pertanyaan mengenai hal tersebut, yaitu: 1) mengapa harus patuh pada hukum, 2) apakah manusia memiliki kekuatan moral untuk mematuhi atau menyesuaikan terhadap aturan hukum, dan 3) apakah manusia mengetahui bahwa hukum itu tidak adil atau hukum menuntut hal yang irasional. Oleh karena itu, Raymon menyampaikan 4 (empat) hal mengenai argumen dalam kaitannya kewajiban patuh terhadap hukum[1], yaitu:
1.      Fairplay: hukum merupakan suatu sistem politik yang mendasar.
2.      Consent: hukum sebagai suatu wujud kontrak sosial dimana masyarakat yang secara implisit memiliki keharusan untuk patuh pada hukum karena dianggap telah sepakat terhadap hukum itu sendiri.
3.      The common good: kepatuhan terhadap hukum secara bersama-sama akan menimbulkan kebaikan bagi sesama, namun ketidakpatuhan secara universal dapat menyebabkan kekacauan.
4.      Gratitude: patuh terhadap hukum sebagai suatu wujud rasa terima kasih pada orang lain, hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang saling menguntungkan satu sama lainnya (komensalisme) atau merupakan suatu skema yang adil dari bentuk kerja sama sosial.
Terkait dengan alasan patuh pada hukum, terdapat beberapa alasan mendasar yang sering menjadi argumen dalam menjawab pertanyaan mengapa harus patuh pada hukum, diantaranya yaitu[2]:
-          karena takut adanya sanksi (kaitannya terhadap argumen fairplay)
-          karena seseorang itu memiliki ketaatan serta mampu membedakan antara yang baik dan buruk (kaitannya terhadap argumen fairplay atau gratitude)
-          karena pengaruh lingkungan dan masyarakat (kaitannya terhadap argumen consent atau the common good)
Dalam hal ini Indonesia merupakan negara hukum, sehingga warga negaranya pun juga tidak dapat terlepaskan dari kewajiban patuh pada hukum. Dalam konstitusi telah secara eksplisit menegaskan mengenai kewajiban warga negara untuk patuh terhadap hukum, misalnya kewajiban setiap warga negara untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan negara. Hal ini memberikan suatu kesimpulan bahwasannya hukum merupakan suatu sistem politik pemerintahan yang mendasar dan diberlakukan serta mengikat terhadap seluruh warga negara Indonesia (kaitannya terhadap argumen fairplay).
Disamping itu, hukum dalam hal ini yaitu konstitusi yang disampaikan di depan adalah dapat dikatakan sebagai suatu perwujudan kontrak sosial warga negara Indonesia, karena telah mendapat persetujuan serta pengakuan secara nasional dan universal sebagai konstitusi, sehingga warga negara secara implisit memiliki kaharusan untuk patuh terhadap konstitusi itu sendiri (kaitannya terhadap argumen consent).
Disisi lain, warga negara Indonesia yang secara universal patuh terhadap konstitusi akan menimbulkan suatu kebaikan bersama, dalam hal ini yaitu stabilitas kehidupan bernegara. Namun sebaliknya, apabila terjadi ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum atau konstitusi itu maka akan menimbulkan suatu kekacauan kehidupan bernegara yang berdampak pada guncangnya stabilitas kehidupan bernegara dan tentunya berdampak pada segala aspek kehidupan bernegara (kaitannya terhadap argumen the common good).
Namun, secara garis besar kepatuhan masyarakat terhadap hukum itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu curahan emosi yang muncul dari dalam diri manusia dan muncul secara naluri, dalam artian bahwa kepatuhan tersebut adalah datang dari akal sehat masyarakat itu sendiri. Karena, secara alamiah perasaan manusia tidak dapat dipaksakan, termasuk untuk patuh terhadap hukum. Terlepas dari teori kontrak sosial ataupun teori hukum alam, hukum merupakan suatu konsep aturan yang dibuat dan belum tentu sesuai dengan perasaan pribadi seseorang mengenai substansi dari hukum itu sendiri. Manusia memiliki standar kehidupan sendiri-sendiri mengenai konsep aturan yang bertujuan untuk menciptakan suatu keteraturan kehidupan mereka, sebagaimana tujuan utama dari hukum yaitu untuk menciptakan keteraturan. Sehingga apabila ditinjau kembali pada naluri dasar manusia akan sulit dilaksanakan jika dipaksakan untuk menyesuaikan pola perilaku terhadap hukum sebagai produk buatan tersebut.
Sebagai contoh sederhana misalnya adalah kewajiban pengendara sepeda motor mengenakan helm, ada sebagian masyarakat menganggap tidak penting helm. Namun, dalam hal ini negara, yaitu pemerintah, memberikan aturan tersebut adalah demi keselamatan dari pengendara itu sendiri, sementara disisi lain apabila terjadi hal yang tidak diinginkan (kecelakaan tunggal) juga tidak merugikan orang lain. Disisi lain, terdapat sebagian orang menganggap mengenakan helm sebagai suatu kewajiban dan bukanlah wujud patuh terhadap aturan namun karena ketakutan akan sanksi yang akan diterima apabila kedapatan melanggar oleh aparat penegak hukum.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa kepatuhan terhadap hukum jawabannya adalah kembali pada pribadi masing-masing bagaimana manusia menilai secara akal sehat dan naluri kemanusiaannya terhadap substansi hukum itu sendiri mengenai kekuatan moralnya terhadap kepatuhan pada hukum maupun penilaian keadilan terhadap hukum itu sendiri.



Sumber:
Hari Purwadi, materi kuliah yang disampaikan pada hari Jumat  tanggal 25 Mei 2012 kepada mahasiswa Filsafat Hukum Kelas A Fakultas Hukum UNS.
http://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/13/mengapa-patuh-pada-hukum/, diakses tanggal 13-06-2012 pukul 21.15 WIB.


[1] Hari Purwadi, materi kuliah yang disampaikan pada hari Jumat  tanggal 25 Mei 2012 kepada mahasiswa Filsafat Hukum Kelas A Fakultas Hukum UNS.
[2] http://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/13/mengapa-patuh-pada-hukum/, diakses pada tanggal 13-06-2012 pukul 21.15 WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar