KEWAJIBAN PATUH
PADA HUKUM
(Raymon Waaks)
di
Indonesia
Kewajiban merupakan
suatu hal yang harus dilakukan atau dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan
maka akan terdapat sanksi atau akibat yang buruk/negatif bagi pelanggarnya.
Dalam kaitannya kewajiban patuh terhadap hukum, Raymon Waaks memberikan 3
(tiga) pertanyaan mengenai hal tersebut, yaitu: 1) mengapa harus patuh pada
hukum, 2) apakah manusia memiliki kekuatan moral untuk mematuhi atau
menyesuaikan terhadap aturan hukum, dan 3) apakah manusia mengetahui bahwa
hukum itu tidak adil atau hukum menuntut hal yang irasional. Oleh karena itu,
Raymon menyampaikan 4 (empat) hal mengenai argumen dalam kaitannya kewajiban
patuh terhadap hukum[1],
yaitu:
1. Fairplay:
hukum merupakan suatu sistem politik yang mendasar.
2. Consent:
hukum sebagai suatu wujud kontrak sosial dimana masyarakat yang secara implisit
memiliki keharusan untuk patuh pada hukum karena dianggap telah sepakat
terhadap hukum itu sendiri.
3. The common good:
kepatuhan terhadap hukum secara bersama-sama akan menimbulkan kebaikan bagi
sesama, namun ketidakpatuhan secara universal dapat menyebabkan kekacauan.
4. Gratitude:
patuh terhadap hukum sebagai suatu wujud rasa terima kasih pada orang lain, hal
ini disebabkan karena adanya hubungan yang saling menguntungkan satu sama
lainnya (komensalisme) atau merupakan suatu skema yang adil dari bentuk kerja
sama sosial.
Terkait dengan alasan patuh pada hukum, terdapat beberapa
alasan mendasar yang sering menjadi argumen dalam menjawab pertanyaan mengapa
harus patuh pada hukum, diantaranya yaitu[2]:
-
karena takut adanya sanksi (kaitannya
terhadap argumen fairplay)
-
karena seseorang itu memiliki ketaatan
serta mampu membedakan antara yang baik dan buruk (kaitannya terhadap argumen fairplay atau gratitude)
-
karena pengaruh lingkungan dan
masyarakat (kaitannya terhadap argumen consent
atau the common good)
Dalam hal ini Indonesia merupakan negara hukum,
sehingga warga negaranya pun juga tidak dapat terlepaskan dari kewajiban patuh
pada hukum. Dalam konstitusi telah secara eksplisit menegaskan mengenai
kewajiban warga negara untuk patuh terhadap hukum, misalnya kewajiban setiap
warga negara untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan kedaulatan
negara. Hal ini memberikan suatu kesimpulan bahwasannya hukum merupakan suatu
sistem politik pemerintahan yang mendasar dan diberlakukan serta mengikat
terhadap seluruh warga negara Indonesia (kaitannya terhadap argumen fairplay).
Disamping itu, hukum dalam hal ini yaitu konstitusi
yang disampaikan di depan adalah dapat dikatakan sebagai suatu perwujudan
kontrak sosial warga negara Indonesia, karena telah mendapat persetujuan serta
pengakuan secara nasional dan universal sebagai konstitusi, sehingga warga
negara secara implisit memiliki kaharusan untuk patuh terhadap konstitusi itu
sendiri (kaitannya terhadap argumen consent).
Disisi lain, warga negara Indonesia yang secara
universal patuh terhadap konstitusi akan menimbulkan suatu kebaikan bersama,
dalam hal ini yaitu stabilitas kehidupan bernegara. Namun sebaliknya, apabila
terjadi ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum atau konstitusi itu maka
akan menimbulkan suatu kekacauan kehidupan bernegara yang berdampak pada
guncangnya stabilitas kehidupan bernegara dan tentunya berdampak pada segala
aspek kehidupan bernegara (kaitannya terhadap argumen the common good).
Namun, secara garis besar kepatuhan masyarakat
terhadap hukum itu sendiri pada dasarnya merupakan suatu curahan emosi yang
muncul dari dalam diri manusia dan muncul secara naluri, dalam artian bahwa
kepatuhan tersebut adalah datang dari akal sehat masyarakat itu sendiri.
Karena, secara alamiah perasaan manusia tidak dapat dipaksakan, termasuk untuk patuh
terhadap hukum. Terlepas dari teori kontrak sosial ataupun teori hukum alam,
hukum merupakan suatu konsep aturan yang dibuat dan belum tentu sesuai dengan
perasaan pribadi seseorang mengenai substansi dari hukum itu sendiri. Manusia
memiliki standar kehidupan sendiri-sendiri mengenai konsep aturan yang
bertujuan untuk menciptakan suatu keteraturan kehidupan mereka, sebagaimana
tujuan utama dari hukum yaitu untuk menciptakan keteraturan. Sehingga apabila
ditinjau kembali pada naluri dasar manusia akan sulit dilaksanakan jika
dipaksakan untuk menyesuaikan pola perilaku terhadap hukum sebagai produk
buatan tersebut.
Sebagai contoh sederhana misalnya adalah kewajiban
pengendara sepeda motor mengenakan helm, ada sebagian masyarakat menganggap
tidak penting helm. Namun, dalam hal ini negara, yaitu pemerintah, memberikan
aturan tersebut adalah demi keselamatan dari pengendara itu sendiri, sementara
disisi lain apabila terjadi hal yang tidak diinginkan (kecelakaan tunggal) juga
tidak merugikan orang lain. Disisi lain, terdapat sebagian orang menganggap
mengenakan helm sebagai suatu kewajiban dan bukanlah wujud patuh terhadap
aturan namun karena ketakutan akan sanksi yang akan diterima apabila kedapatan
melanggar oleh aparat penegak hukum.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa kepatuhan terhadap
hukum jawabannya adalah kembali pada pribadi masing-masing bagaimana manusia
menilai secara akal sehat dan naluri kemanusiaannya terhadap substansi hukum
itu sendiri mengenai kekuatan moralnya terhadap kepatuhan pada hukum maupun
penilaian keadilan terhadap hukum itu sendiri.
Sumber:
Hari Purwadi, materi kuliah yang disampaikan pada
hari Jumat tanggal 25 Mei 2012 kepada
mahasiswa Filsafat Hukum Kelas A Fakultas Hukum UNS.
http://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/13/mengapa-patuh-pada-hukum/,
diakses tanggal 13-06-2012 pukul 21.15 WIB.
[1]
Hari Purwadi, materi kuliah yang disampaikan pada hari Jumat tanggal 25 Mei 2012 kepada mahasiswa Filsafat
Hukum Kelas A Fakultas Hukum UNS.
[2] http://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/13/mengapa-patuh-pada-hukum/,
diakses pada tanggal 13-06-2012 pukul 21.15 WIB.