TIGA TIADA DUNIA

Ada 3 "tiada" di dunia ini :
- tiada orang yang saya cintai
- tiada orang yang tidak saya percayai
- tiada orang yang tidak bisa saya maafkan

Kamis, 11 Oktober 2012

Urgensi Parameter Kesetaraan Gender dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Isu mengenai kesetaraan Gender saat ini mulai menjadi pembahasan yang hangat di Indonesia, hal ini muncul dengan adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (selanjutnya disebut RUU KKG). Ada sebagian masyarakat yang memandang mengenai persoalan gender tidak perlu, karena persoalan gender di Indonesia sendiri sepertinya tidak mengalami masalah dan dapat dilihat dengan kondisi masyarakat yang tenang tidak ada masalah mengenai persoalan gender.
Budaya Indonesia yang cenderung patriakhal menganggap bahwa wanita berada di bawah lelaki secara subordinan, meski demikian cenderung tidak ada persoalan mengenai hal tersebut. Wanita dalam konsep Jawa diartikan sebagai insan yang harus patuh terhadap laki-laki, wanita dimaknai dengan “wani ditata”. Wanita pada zaman dahulu umumnya tidak mendapatkan pendidikan tinggi, sehingga dalam hal pengalaman dan wawasan cenderung minim serta kesempatan yang terbatas dalam bidang politik, sosial, maupun budaya.
Dalam pembahasan RUU KKG ini menekankan pada pengaturan terhadap sistem dan mekanisme penerapan strategi pengutamaan gender dalam pelaksanaan peran dan fungsi lembaga negara, baik dalam fungsi pemerintahan, fungsi legislatif, maupun fungsi yudikatif, dalam hal ini yaitu menekankan hak-hak sosial dan politik terhadap wanita.
Kesetaraan gender bertujuan untuk mewujudkan keadilan gender dalam hal pemenuhan hak asasi manusia di dalam semua bidang, menyelenggarakan upaya pemenuhan hak terhadap perempuan, menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, serta menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktek lainnya yang didasarkan atas superioritas dan inferioritas salah satu jenis kelamin ataupun berdasarkan jenis peranan stereotip bagi perempuan dan laki-laki.
Ditinjau dari aspek filosofis, merujuk pada Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia menjamin dan melindungi tiap warga negaranya dari sikap maupun tindakan diskriminatif tanpa membedakan status sosial, ras, suku budaya, agama, agama, maupun jenis kelamin . Karena tindakan diskriminatif tersebut dapat  menyebabkan penguasaan dan dominasi terhadap salah satu kelompok warga tertentu, hal ini merupakan salah satu bentuk perbuatan yang tidak berperikemanusiaan sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945.
Di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Tindak Diskriminatif terhadap Perempuan (Conventio on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW Convention), di dalamnya megatur mengenai penetapan secara universal prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terlepas dari status perkawinan, kedudukan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, sosial, budaya dan sipil. Konvensi ini mendorong bagi negara untuk memberlakukan peraturan perundangan nasional yang melarang diskriminasi untuk mempercepat kesetaraan secara de facto antara laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktik kebiasaan dan budaya yang didasarkan atas jenis kelamin ataupun patriakhal yang menganggap bahwa wanita berada di bawah lelaki secara subordinan.
Dalam hal RUU KKG dianggap belum perlu untuk dilaksanakan, mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang sejauh ini belum ada persoalan terkait dengan keadilan dan kesetaraan gender. Indonesia dalam hal ini telah menerapkan prinsip penggunaan parameter kesetaraan gender dalam peraturan perundangan yang diwujudkan dalam proses perencanaan peraturan perundangan dalam Naskah Akademik, penyususnan dan/atau pembahasan RUU, serta kajian dan evaluasi perundang-undangan termasuk kebijakan teknis operasionalnya. Sehingga terkait persoalan gender sejauh ini telah diakomodir secara jelas dan tidak menimbulkan persoalan. Terdapat beberapa hal penting yang perlu diatur di dalam RUU KKG, diantaranya 1) mengenai kewajiban negara terhadap pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, 2) identifikasi terhadap hak-hak perempuan, 3) pengaturan tanggungjawab pihak terkait terhadap pemenuhan hak perempuan, 4) parameter yang jelas terhadap kesetaraan gender, ketidakadilan gendermaupun diskriminasi gender termasuk dampak dari ketidakadilan gender, 5) mekanisme pemenuhan dan perlindungan gender, dan 6) sanksi baik administratif maupun pidana terhadap pelanggaran atas hak perempuan atau diskriminasi perbedaan jenis kelamin.
Dengan adanya pengaturan yang secara komprehensif terhadap perlindungan hak-hak perempuan di berbagai bidang, dan mengatur mekanisme perwujudan kesetaraan gender melalui proses pembentukan peraturan hukum dan perundang-undangan, dalam hal ini merupakan suatu wujud pemenuhan prinsip kewajiban negara secara de facto dan de jure dalam  mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.