Isu mengenai kesetaraan
Gender saat ini mulai menjadi pembahasan yang hangat di Indonesia, hal ini
muncul dengan adanya pembahasan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan
Gender (selanjutnya disebut RUU KKG). Ada sebagian masyarakat yang memandang
mengenai persoalan gender tidak perlu, karena persoalan gender di Indonesia
sendiri sepertinya tidak mengalami masalah dan dapat dilihat dengan kondisi
masyarakat yang tenang tidak ada masalah mengenai persoalan gender.
Budaya Indonesia yang cenderung
patriakhal menganggap bahwa wanita berada di bawah lelaki secara subordinan,
meski demikian cenderung tidak ada persoalan mengenai hal tersebut. Wanita
dalam konsep Jawa diartikan sebagai insan yang harus patuh terhadap laki-laki,
wanita dimaknai dengan “wani ditata”. Wanita pada zaman dahulu umumnya tidak
mendapatkan pendidikan tinggi, sehingga dalam hal pengalaman dan wawasan
cenderung minim serta kesempatan yang terbatas dalam bidang politik, sosial,
maupun budaya.
Dalam pembahasan RUU
KKG ini menekankan pada pengaturan terhadap sistem dan mekanisme penerapan
strategi pengutamaan gender dalam pelaksanaan peran dan fungsi lembaga negara,
baik dalam fungsi pemerintahan, fungsi legislatif, maupun fungsi yudikatif,
dalam hal ini yaitu menekankan hak-hak sosial dan politik terhadap wanita.
Kesetaraan gender
bertujuan untuk mewujudkan keadilan gender dalam hal pemenuhan hak asasi
manusia di dalam semua bidang, menyelenggarakan upaya pemenuhan hak terhadap
perempuan, menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, serta
menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktek lainnya yang didasarkan atas
superioritas dan inferioritas salah satu jenis kelamin ataupun berdasarkan
jenis peranan stereotip bagi perempuan dan laki-laki.
Ditinjau dari aspek
filosofis, merujuk pada Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945, dimana dalam pasal
tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia menjamin dan melindungi tiap warga
negaranya dari sikap maupun tindakan diskriminatif tanpa membedakan status
sosial, ras, suku budaya, agama, agama, maupun jenis kelamin . Karena tindakan
diskriminatif tersebut dapat menyebabkan
penguasaan dan dominasi terhadap salah satu kelompok warga tertentu, hal ini
merupakan salah satu bentuk perbuatan yang tidak berperikemanusiaan sebagaimana
dimuat dalam Pembukaan UUD 1945.
Di dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala
Tindak Diskriminatif terhadap Perempuan (Conventio
on The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women/CEDAW
Convention), di dalamnya megatur mengenai penetapan secara universal
prinsip-prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terlepas dari
status perkawinan, kedudukan dalam bidang politik, sosial, ekonomi, sosial,
budaya dan sipil. Konvensi ini mendorong bagi negara untuk memberlakukan
peraturan perundangan nasional yang melarang diskriminasi untuk mempercepat
kesetaraan secara de facto antara
laki-laki dan perempuan, termasuk merubah praktik kebiasaan dan budaya yang
didasarkan atas jenis kelamin ataupun patriakhal yang menganggap bahwa wanita
berada di bawah lelaki secara subordinan.
Dalam hal RUU KKG
dianggap belum perlu untuk dilaksanakan, mengingat kondisi masyarakat Indonesia
yang sejauh ini belum ada persoalan terkait dengan keadilan dan kesetaraan
gender. Indonesia dalam hal ini telah menerapkan prinsip penggunaan parameter
kesetaraan gender dalam peraturan perundangan yang diwujudkan dalam proses
perencanaan peraturan perundangan dalam Naskah Akademik, penyususnan dan/atau
pembahasan RUU, serta kajian dan evaluasi perundang-undangan termasuk kebijakan
teknis operasionalnya. Sehingga terkait persoalan gender sejauh ini telah
diakomodir secara jelas dan tidak menimbulkan persoalan. Terdapat beberapa hal
penting yang perlu diatur di dalam RUU KKG, diantaranya 1) mengenai kewajiban
negara terhadap pemenuhan dan perlindungan hak perempuan, 2) identifikasi
terhadap hak-hak perempuan, 3) pengaturan tanggungjawab pihak terkait terhadap
pemenuhan hak perempuan, 4) parameter yang jelas terhadap kesetaraan gender,
ketidakadilan gendermaupun diskriminasi gender termasuk dampak dari
ketidakadilan gender, 5) mekanisme pemenuhan dan perlindungan gender, dan 6)
sanksi baik administratif maupun pidana terhadap pelanggaran atas hak perempuan
atau diskriminasi perbedaan jenis kelamin.
Dengan adanya
pengaturan yang secara komprehensif terhadap perlindungan hak-hak perempuan di
berbagai bidang, dan mengatur mekanisme perwujudan kesetaraan gender melalui
proses pembentukan peraturan hukum dan perundang-undangan, dalam hal ini
merupakan suatu wujud pemenuhan prinsip kewajiban negara secara de facto dan de jure dalam mewujudkan
keadilan dan kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.